M Aqsha BS: Feminisme dan Gerakan Politik Perempuan

18 Desember 2022, 10:20 WIB
Mahasiswa Universitas Indonesia, M. Aqsha BS /

SUARASOPPENG - Tuan dan puan, izinkan saya menyampaikan sedikit pandangan saya. Feminisme sebagai gerakan perempuan telah mengalami berbagai macam dinamika, Seperti yang telah diketahui bahwa feminisme mengalami tiga kali gelombang, sehingga aliran gerakannya tidak berhenti pada satu muara.

Feminisme pertama kali muncul mengusung penghapusan standar ganda gender, hak pilih perempuan dan pendidikan perempuan, disebut dengan gerakan feminisme gelombang pertama dan dianggap berakhir pada tahun 1920 yang menghasilkan, disahkannya Amandemen Kesembilan Belas Konstitusi Amerika Serikat berupa hak pilih bagi perempuan kulit putih.

Gerakan feminisme kembali muncul pada tahun 1960-1980 dan di identifikasi sebagai gelombang kedua gerakan feminisme, pada periode ini gerakan feminisme lebih menyuluruh dalam melihat permasalahan perempuan dan menganggap ketimpangan dalam budaya dan politik yang dialami oleh perempuan adalah hal yang saling terkait.

Baca Juga: Ketua Pemuda Tani Dorong Pembangunan Infrastruktur Pertanian dan SDM Petani

Sehingga fokus gerakan feminisme yang terjadi di Amerika dan Eropa kala itu adalah ketertindasan perempuan dan tubuh perempuan sebagai situs utama dalam penindasan tersebut.

Jika feminisme gelombang kedua muncul karena persinggungan antara politik dan budaya yang menjadi penyebab ketertindasan perempuan, maka feminisme gelombang ketiga lebih dipengaruhi oleh budaya hip-hop, konsumerisme dan internet.

Gelombang ini kembali mendefinisikan gerakan feminisme sebagai gerakan yang dapat mengakomodir isu perempuan dari semua lapisan masyarakat tanpa membedakan kelas dan etnis.

Secara khusus, feminisme memang bukan termasuk dalam teori perubahan sosial, tetapi gerakannya yang berusaha untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi merupakan sebuah alternatif bagi perubahan sosial hari ini.

Kemunculan feminisme beserta perjalanan panjang di setiap gelombang gerakan feminisme yang terjadi, menjadikan feminisme tidak hanya sebagai sebuah gerakan, lebih dari itu feminisme adalah kumpulan pemikiran, pendirian dan aksi yang berangkat dari kesadaran, asumsi dan kepedulian terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan, penindasan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan (Fakih, 2001)

Baca Juga: Forum Pemerhati Masyarakat Soppeng Puji Kepemimpinan Santiadjie

Gelombang gerakan feminisme, tidak hanya mengahasilkan sebuah terobosan baru, tapi juga berbagai aliran feminisme yang bisa diterapkan dalam berbagai isu perempuan hari ini yang semakin beragam.

Aliran-aliran feminisme diantaranya adalah: feminisme radikal, feminisme liberal, feminisme sosialis-marxis, ekofeminisme dan feminisme postmodernis.

Setiap aliran feminisme memiliki perspektif akar ketertindasan yang berbeda sehingga berbeda pula gerakan-gerakan yang dilakukan namun tetap memiliki fokus yang sama, berupa penghapuskan berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.

Keseluruhan aliran tersebut, sebenarnya dapat menjawab berbagai isu perempuan hari ini. Akan tetapi dalam menjawab permasalahan perempuan di ranah politik, feminisme liberal bisa menjadi teori alternatif untuk mendorong lebih banyak perempuan berperan dalam politik.

Catatan Tahunan atau disingkat menjadi CATAHU 2022 yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan  dalam rangka memperingati hari perempuan Internasional, menyiarkan bahwa ada lonjakan kasus sebanyak 52% dari tahun sebelumnya dalam kasus KBGO (kekerasan berbasis Gender online).

Kekerasan pada perempuan karena adanya hukum khusus seperti PBH yang masih banyak dialami oleh perempuan, seperti penyiksaan, pemerkosaan dan penelenjangan fisik.

Baca Juga: Peserta Pengobatan Gratis Gerindra di Cirebon Membludak

Kekerasan terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat (PPHAM), banyak dialami oleh perempuan pendamping korban kekerasan berbasis gender, juga rentan mengalami berbagai macam serangan dan ancaman.

Konflik dan pendemi covid-19, menyebabkan menurunnya kualitas hidup perempuan Papua. Seperti, angka kekerasan terhadap perempuan Papua dengan kasus HIV/AIDS di Provinsi Papua dan Papua berat, dengan situasi yang nyaris tak terpantau.

Situasi disabilitas mental yang disebabkan karena KDRT juga masih tinggi, dan hal tersebut sulit terdeteksi. Kurangnya layanan yang integritas untuk penanganan perempuan korban kekerasan di Papua menjadi penyebab utama dalam permasalahan ini.

Tingginya kasus kekerasan, baik kekerasan langsung (verbal dan non-verbal), kekerasan kultural dan kekerasan struktural pada perempuan, disebabkan oleh kurangnya UU yang melindungi perempuan, meski ada UU, dalam pelaksanaan dan pengawasan tidak memiliki regulasi yang mengikat.

Isu dan permasalahan perempuan di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesempatan perempuan dalam politik. Politik sebagai alat untuk membuat sebuah keputusan yang transparan

Baca Juga: Kejaksaan Gelar Rapat, ‘Awasi’ Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan di Bone

Kemampuan bernegosiasi dan partisipasi dengan cakupan basis yang luas, distribusi sumber daya (kekuasaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, harusnya menjadi ranah yang mampu menampung seluruh gagasan dan gerakan dari laki-laki ataupun perempuan.

Faktanya, perempuan dan politik di Indonesia masih terjebak pada level perdebatan representasi dan partisipasi. Adanya UU yang mengatur tentang minimal kuota 30 persen partisipasi perempuan dalam politik, bukanlah sebuah tujuan perempuan masuk dalam politik.

Akan tetapi, sudah seharusnya kuota 30 persen hanya menjadi indikator bagaimana kualitas dan kuantitas perempuan yang duduk di ranah politik.

Maka, sudah seharusnya indikator tersebut, disertai dengan penyelesaian akar masalah perempuan, sehingga keberadaan perempuan dalam politik benar-benar menjadi subjek dan mewakili hak kemanusian perempuan.

Sebagaimana perjuangan feminis liberal yang menginginkan perempuan turut serta dan berperan dalam ranah publik, dalam hal ini ekonomi dan politik, agar perempuan memilki akses dan kontrol yang sama dalam politik maupun ekonomi.

Sedangkan menurut Johan Galtung, keberadaan perempuan dalam politik bukan karena mereka memilki hak yang sama, akan tetapi perebedaan dalam diri perempuan yang memiliki keunikan dan struktur kemanusiaan yang lebih sempurna dari lelaki, mengharuskan perempuan memiliki akses dan kontrol dalam politik.

Memasuki tahun-tahun politik 2024 mendatang, nampaknya pemerintah dan seluruh lapisan institusi di Indonesia baik lembaga pemerintah atau non-pemerintah mulai sadar dan mendorong adanya keterwakilan perempuan dalam kontestasi politik.

Hal tersebut tidak hanya berupa sosialisasi namun juga berupa pendidikan politik yang berkelanjutan, dalam hal ini tidak mengartikan politik sebagai hegemoni kekuasaan partai saja.

Baca Juga: Polisi Beri Rasa Aman Kedatangan Jusuf Kalla Beserta Rombongan di Kota Kelahirannya

Pendidikan politik berkelanjutan dalam setiap institusi, memang terlihat begitu utopis, mengingat lingkungan institusi Indonesia yang masih begitu patriarkis, akan tetapi hal tersebut bisa diupayakan melalui berbagai macam cara, seperti kerja sama antara akademisi yang memiliki perspektif pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik dan lembaga non-pemerintah untuk terus menyuarakan politik berkelanjutan.

Sehingga nantinya saat tahun pemilu tiba, semakin banyak perempuan yang sadar dan mendukung sesama perempuan yang ingin berkontestasi di parlemen serta perempuan yang ingin masuk parlemen adalah perempuan yang berdaya dan menggunakan sumber daya dalam dirinya untuk membuat sebuah keputusan yang adil, sehingga permasalahan perempuan tidak hanya mendapat pendampingan di akar rumput tapi memiliki konstitusi dan perlindungan yang jelas.

“Apapun yang kau berikan pada Wanita, ia akan membuatnya lebih besar. Kau beri ia setetes mani, ia akan memberimu bayi. Kau beri ia bangunan, ia akan memberimu rumah tangga. Jika ia kau beri belanjaan, ia akan memberimu makanan. Jika kau memberinya senyuman, ia akan memberikan hatinya. Ia melipatgandakan dan membesarkan apa saja yang diberikan kepadanya. Jadi, kalau kau memberinya sampah, siap-siaplah untuk menerima satu ton kotoran.~William Golding.

Penulis

M. Aqsha BS.
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu politik Universitas Indonesia
Awardee LPDP                                                                                                        Presiden BEM UNM 2019-2020***

 

 

 

Editor: Silmi Akhsin

Tags

Terkini

Terpopuler