M Aqsha BS: Feminisme dan Gerakan Politik Perempuan

- 18 Desember 2022, 10:20 WIB
Mahasiswa Universitas Indonesia, M. Aqsha BS
Mahasiswa Universitas Indonesia, M. Aqsha BS /

Situasi disabilitas mental yang disebabkan karena KDRT juga masih tinggi, dan hal tersebut sulit terdeteksi. Kurangnya layanan yang integritas untuk penanganan perempuan korban kekerasan di Papua menjadi penyebab utama dalam permasalahan ini.

Tingginya kasus kekerasan, baik kekerasan langsung (verbal dan non-verbal), kekerasan kultural dan kekerasan struktural pada perempuan, disebabkan oleh kurangnya UU yang melindungi perempuan, meski ada UU, dalam pelaksanaan dan pengawasan tidak memiliki regulasi yang mengikat.

Isu dan permasalahan perempuan di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesempatan perempuan dalam politik. Politik sebagai alat untuk membuat sebuah keputusan yang transparan

Baca Juga: Kejaksaan Gelar Rapat, ‘Awasi’ Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan di Bone

Kemampuan bernegosiasi dan partisipasi dengan cakupan basis yang luas, distribusi sumber daya (kekuasaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, harusnya menjadi ranah yang mampu menampung seluruh gagasan dan gerakan dari laki-laki ataupun perempuan.

Faktanya, perempuan dan politik di Indonesia masih terjebak pada level perdebatan representasi dan partisipasi. Adanya UU yang mengatur tentang minimal kuota 30 persen partisipasi perempuan dalam politik, bukanlah sebuah tujuan perempuan masuk dalam politik.

Akan tetapi, sudah seharusnya kuota 30 persen hanya menjadi indikator bagaimana kualitas dan kuantitas perempuan yang duduk di ranah politik.

Maka, sudah seharusnya indikator tersebut, disertai dengan penyelesaian akar masalah perempuan, sehingga keberadaan perempuan dalam politik benar-benar menjadi subjek dan mewakili hak kemanusian perempuan.

Sebagaimana perjuangan feminis liberal yang menginginkan perempuan turut serta dan berperan dalam ranah publik, dalam hal ini ekonomi dan politik, agar perempuan memilki akses dan kontrol yang sama dalam politik maupun ekonomi.

Sedangkan menurut Johan Galtung, keberadaan perempuan dalam politik bukan karena mereka memilki hak yang sama, akan tetapi perebedaan dalam diri perempuan yang memiliki keunikan dan struktur kemanusiaan yang lebih sempurna dari lelaki, mengharuskan perempuan memiliki akses dan kontrol dalam politik.

Halaman:

Editor: Silmi Akhsin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x